TEORI INTERPRETIF
TEORI
INTERPRETIF
Sejarah
Akar sejarah dari
perpektif interpretif diawali oleh filosofis Rene Descartes (1596-1650). Pada
bukunya The Principles of Philosophy,
ia berpendapat bahwa semua penjelasan dapat didasarkan pada observasi benda dan
gerak. Pendapatnya ini kemudian membangun sebuah landasan pendekatan terhadap
pengetahuan yang dijadikan sebagai dasar positivism dan post-positivisme dan
juga sebuah perbedaan yang jelas adanya dunia eksternal dan dunia internal
subjek yang dikenal dengan Dualisme Cartesian.
Mulai pertengahan abad
18 timbul beberapa keberatan terhadap gagasan pencerahan tentang objektivitas,
rasionalitas dan pengetahuan yang mendasari observasi eksternal. Yang paling
berpengaruh yaitu Immanuel Kant, filsuf sentral dalam aliran pemikiran Idealisme Jerman. Ia berpendapat bahwa manusia
mempunyai pengetahuan yang apriori yang bersifat independen dari dunia luar.
Pada pertengahan abad ke 19, Idelisme Jerman menemui jalan berat namun kembali
bangkit awal abad 20 yang menimbulkan gerakan Neo-Kantian.
Menurut Max Weber,
prosedur positivisme yang ada dalam ilmu alam tidak tepat dijadikan metode
pemahaman, dan ia menyokong gerakan interprestasi ilmu sosial yang dapat
mencatat makna subjektif individu yang tercakup dalam perilaku sosial.
Teori interpretif
muncul dalam berbagai bentuk. Banyak teori interpretif yang memusatkan
perhatiannya pada pesan atau teks. Beberapa dinataranya berusaha untuk
menentukan apa yang dimaksudkan oleh orang-orang dalam percakapan yang mereka
lakukan. Sejumlah lainnya menaruh perhatian pada makna teks saja. Ada pula yang
mengkaji makna dari interpretasi itu sendiri dan bagaimana pengalaman manusia
melibatkan pemahaman. Ada dua aliran pemikiran tentang interpretasi yang
searah, yaitu hermeneutika dan fenomenologi. Hermeneutika sebenarnya menunjuk
pada interpretasi tekstual dan masih banyak yang menggunakannya untuk
kepentingan tersebut; namun, bagi banyak orang hermeneutika telah menjadi
hampir sama dengan interpretasi itu sendiri. Fenomenologi adalah studi mengenai
pengetahuan yang muncul dalam pengalaman yang diperoleh secara sadar.
Secara umum, teori ini merupakan
analisis hubungan antara fakta yang satu dengan fakta yang lain pada sekumpulan
fakta-fakta. Teori Interpretif dipengaruhi oleh : 1) Hermeuneutika; 2)
Fenomenologi; 3) Interaksionisme
Struktur
dan Fungsi Teori Interpretif
a.
Teori Interpretif umum (General Interpretive Theories)
Mencoba untuk menciptakan
pemahaman mengenai proses dimana komunikasi berfungsi dalam interaksi intersubjektif.
Proses konstruksi sosial dan interaksi ini bisa dibicarakan melewati
batas-batas situasional. Inti : kepercayaan bahwa kita mengonstruksikan dunia
kita secara sosial lewat interaksi komunikatif (=tindakan untuk mencapai
pemahaman timbal balik.)
Tujuan teoritis berkenaan dengan
pemahaman atas proses konstruksi sosial dan interaksi bersifat isomorphic
dengan tujuan yang merangsang para teoritisi. Contoh : Mead, tokoh aliran
interaksionisme simbolik, termotivasi oleh keinginan untuk memahami cara
produksi dan penafsiran makna lewat simbol dalam interaksi sosial. Para
perintis teori-teori yang meletakkan landasan kerja teoritis yang berusaha
untuk memahami bagaimana makna diciptakan dan bagaimana tindakan dituntun lewat
interaksi simbolik intersubjektif.
Jadi, Pemahaman Intersubjektif
dibentuk dan membentuk oleh tindakan komunikatif.
Contoh : Teori konstruktivisme memandang
bahwa ada keterhubungan antara struktur kognitif individu dan penciptaan makna
simbolik dalam interaksi.
b.
Grounded Theories
Interpretivisme antara lain
menurunkan metodologi penelitian yang dinamakan grounded theory dengan
menurunkan kriteria bahwa data harus dikumpulkan dan di analisis secara
kualitatif bukan kuantitatif sebagaimana dilakukan positivisme, teori yang
dikembangkan bersifat membumi (maka dinamakan grounded theory), dan kegiatan
ilmu harus bersifat natural apa adanya dan menghindarkan penelitian yang diatur
sebelumnya baik melalui desain penelitian yang kaku maupun situasi laboratoris
(penelitian bersifat partisipatif). Berkonsentrasi pada fenomena komunikasi
lokal dan spesifik. Membantu dalam memahami situasi dan konteks khusus.
Fokus penelitian dalam Grounded Theory (ungkap Handoko), bersifat
tentatif yang artinya bahwa penetapan fokus yang sudah disusun dalam proposal
penelitian peneliti terdahulu bisa mengalami perubahan ketika peneliti masuk ke
lapangan dan mendalami fenomena sosial yang ditelitinya. Hal ini bisa terjadi
karena masalah yang telah diformulasikan oleh peneliti dalam desain risetnya
tidak sesuai atau berbeda dengan masalah yang dihadapi oleh subjek
penelitiannya.
Komunikasi
dalam Perspektif Interpretif
1. Etnografi – Komunikasi
Merujuk pada Clifford
Geertz, kita akan mendapatkan gambaran bagaimana lingkaran hermeuneutika
digunakan dalam proses penelitian komunikasi etnografis. Geertz menegaskan
bahwa penelitian bergerak dari konsep pengalaman dekat menuju konsep pengalaman
jauh. Konsep pengalaman dekat adalah konsep yang memiliki pengertian dekat bagi
anggota masyarakat budaya. Sedangkan konsep pengalaman jauh adalah pengertian
untuk pihak luar. Peneliti menerjemahkan keduanya dengan gerakan masuk
lingkaran ia memahami apa yang sedang terjadi menuju lingkaran dalam mengenai
apa yang bagi pelaku sendiri sedang terjadi.
Garry Philipsen
mengemukakan 4 asumsi komunikasi etnografi, yaitu:
1)
Peneliti atau partisipan dalam sebuah komunikasi budaya lokal
menciptakan pengertian bersama dengan yang sedang dipahaminya.
2)
Para komunikatir dalam kelompok
budaya harus berada dalam suatu sistem komunikasi.
3)
Pengertian dan tindakan sifatnya khusus bagi masing-masing kelompok
budaya.
4)
Setiap kelompok dianggap memiliki cara-cara tersendiri untuk memahami
kode dan tindakan tertentu.
Metode pemahaman
hermeneutika mengarahkan peneliti untuk menghargai keberbedaan cara komunikasi
antarbudaya. Walaupun demikian tidak berarti seorang peneliti membiarkan proses
penelitiannya tanpa sedikitpun rujukan. Rujukan adalah prinsip sebagaimana
dikemukakan oleh Philipsen, yaitu bahwa semua bentuk pesan menuntut adanya kode
bersama, komunikatornya mengetahui dan menggunakan kode saluran dan memiliki
saluran, memiliki setting tertentu, ada bentuk pesannya, jelas topiknya dan
berada dalam atau membentuk suatu peristiwa tertentu. Melalui prinsip ini
lingkaran hermeuneutika diberlakukan.
2. Dramatisme dan Narasi
Teori Dramatisme dan
narasi merupakan teori komunikasi yang dipengaruhi oleh interaksionisme
simbolik. Teori dramatisme dan narasi memusatkan diri pada peristiwa penggunaan
simbol komunikasi. Dramatisme memandang manusia sebagai aktor diatas panggung
metaforis yang sedang memainkan peran mereka, dan komunikasi atau penggunaan
pesan dianggap sebagai perilaku untuk menghadirkan cerita tertentu.
Teori narasi memaknai
pesan atau proses komunikasi sebagai sebuah proses penceritaan dengan struktur
tertentu. Kedua teori ini tidak bisa dipisahkan, karena memainkan adegan
berarti menceritakan kisah secara berturut-turut, sebalikanya menceritakan
kisah secara berturut-turut berarti sedang menampilkan adegan dari aktor
tertentu.
Komunikasi dalam bentuk
apapun merupakan suatu cara untuk berbagi cerita. Kebanyakan cerita
kelihatannya susah sangat pentingg untuk dibagikan. Pembagian cerita ini mungkin
merupakan fungsi utama dari cerita. Cerita dengan demikian merupakan alat
komunikasi. Pembagian cerita merupakan hal yang mengubah manusia menjadi mahluk
komunikatif. Dalam kegiatan pertukaran cerita kesana kemari, demi kepentingan
inspeksi, kesepakatan atau ketidaksepakatan, kita terlibat dalam sebuah
aktifitas yang menjadi diri kita anggota suatu masyarakat.Pertukaran cerita
dalam skala masyarakat merupakan inti dari keajaiban sosial masyarakat.
Teori Burke mengenai
Dramatisme Pentad. Teori ini digunakan untuk menganalisis suatu peristiwa
sebagai sebuah peristiwa komunikasi. Bagi Burke ada 5 unsur yang saling terkait
yang dapat ditenggarai dalam suatu peristiwa komunikasi. Kelima unsur tersebut
adalah:
a)
Tindakan
b)
Tempat kejadian
c)
Agen
d)
Agensi
e)
Maksud
Contoh pertanyaan menggunakan
Dramatistic pentad, yaitu:
a.
Apa yang telah diperbuat pelakunya? Untuk apa yang melakukan tindakan
itu?
b.
Dimana tindakan itu dilakukan?
c.
Siapa yang melakukannya? Bagaimana latar belakang si pelaku ini?
d.
Apa yang digunakan si pelaku?
e.
Apa maksud dari tindakan itu?
FENOMENOLOGI
Fenomenologi (phenomenology) adalah sebuah cara mendekati
realitas yang pertama kali dirumuskan secara sistematis oleh Edmund Husserl. Cita-cita dasarnya adalah menjadikan fenomenologi sebagai ilmu
tentang kesadaran (science of consciousness). Dalam arti ini fenomenologi adalah “sebuah upaya untuk memahami
kesadaran sebagaimana dialami dari sudut pandang orang pertama.” Fenomenologi sendiri secara harafiah berarti refleksi atau studi
tentang suatu fenomena(phenomena). Fenomena adalah segala sesuatu
yang tampak bagi manusia. Fenomenologi terkait dengan pengalaman subyektif (subjective
experience) manusia atas sesuatu. Dalam hidup sehari-hari, orang sebenarnya
telah melakukan praktek fenomenologi, ketika mereka melakukan proses refleksi,
yakni proses bertanya pada dirinya sendiri.
Dengan demikian fenomenologi
adalah sebuah cara untuk memahami kesadaran yang dialami oleh seseorang atas
dunianya melalui sudut pandangnya sendiri. Jelas saja pendekatan ini amat
berbeda dengan pendekatan ilmu-ilmu biologis ataupun positivisme. Ilmu-ilmu biologis ingin memahami cara kerja kesadaran melalui
unsur biologisnya, yakni otak. Dalam arti ini mereka menggunakan sudut pandang
orang ketiga, yakni sudut pandang pengamat. Kesadaran bukanlah fenomena mental,
melainkan semata fenomena biologis. Sebaliknya fenomenologi menggunakan
pendekatan yang berbeda, yakni dengan “melihat pengalaman manusia sebagaimana
ia mengalaminya, yakni dari sudut pandang orang pertama.
Namun fenomenologi juga tidak
mau terjatuh pada deskripsi perasaan semata. Yang ingin dicapai fenomenologi
adalah pemahaman akan pengalaman konseptual (conceptual experience) yang melampaui pengalaman
inderawi itu sendiri. “Pengalaman inderawi hanyalah titik tolak untuk sampai
pada makna yang lebih bersifat konseptual, yang lebih dalam dari pengalaman
inderawi itu sendiri.” Dalam hal ini yang ingin dipahami adalah
kesadaran, bukan dalam arti kesadaran biologis maupun perilaku semata, tetapi
kesadaran sebagaimana dihayati oleh orang yang mengalaminya. Kesadaran orang
akan pengalamannya disebut sebagai pengalaman konseptual. Bentuknya bisa
beragam mulai dari imajinasi, pikiran, sampai hasrat tertentu, ketika orang
mengalami sesuatu.
Salah satu konsep kunci di
dalam fenomenologi adalah makna (meaning). Setiap pengalaman manusia selalu memiliki
makna. Dikatakan sebaliknya manusia selalu memaknai pengalamannya akan dunia.
Ini yang membuat kesadarannya akan suatu pengalaman unik. Orang bisa melakukan
hal yang sama, namun memaknainya secara berbeda. Orang bisa mendengarkan
pembicaraan yang sama, namun memaknainya dengan cara berbeda. Lebih jauh dari
itu, “pengalaman bisa menjadi bagian dari kesadaran, karena orang memaknainya.”
Di dalam proses memaknai sesuatu, orang bersentuhan dengan dunia sebagai
sesuatu yang teratur dan dapat dipahami (order and intelligible). Apa yang disebut sebagai
“dunia” adalah suatu kombinasi antara realitas yang dialami dengan proses orang
memaknai realitas itu.
Fenomenologi berada pada status yang berbeda
dari ilmu alam maupun ilmu sosial. Di dalam tulisan-tulisannya, Husserl
menegaskan, bahwa fenomenologi tidak mau mempersempit manusia hanya ke dalam
perilakunya (human behavior), seperti yang terdapat di dalam positivisme.
Fenomenologi juga tidak mau jatuh dalam melakukan generalisasi semata
berdasarkan pengamatan atas perilaku manusia. “Baginya untuk memahami manusia,
fenomenologi hendak melihat apa yang dialami oleh manusia dari sudut pandang
orang pertama, yakni dari sudut pandang orang yang mengalaminya.
Fenomenologi dicetuskan
oleh Edmund Husserl (1859-1938). Fenomenologi melihat objek dari ilmu-ilmu
sosial meliputi segala sesuatu yang termasuk kedalam tindakan sosial manusia: percakapan,
ungkapan, pikiran, perasaan, keinginan, maupun endapan-endapannya seperti teks,
tradisi, karya seni, barang kebudayaan,dll. Menurut Husserl, Dunia Kehidupan
(lebenswelt) adalah unsur sehari-hari yang membentuk kenyataan kita,
unsur-unsur dunia sehari-hari yang kita libati dan hadapi sebelum kita
meneorikan atau merefleksikannya secara filosofis. Dunia kehidupan sosial ini
tidak dapat diketahui begitu saja tanpa lewat observasi dan eksperimen
sebagaimana dilakukan dalam ilmu alam, melainkan harus melalui pemahaman. Namun
sekarang kita memaknai kehidupan tidak secara apa adanya, tetapi berdasarkan
oleh penafsiran – penafsiran yang diwarnai oleh kepentingan – kepentingan,
situasi kehidupan, dan kebiasaan – kebiasaan kita. Oleh karena itu, fenomenologi
menyerukan zuruck zu de sachen selbst ( kembali kepada benda-benda itu sendiri
).
Dalam fenomenologi
terdapat 2 pemikiran, yaitu Fenomenologi Transendental oleh Edmund Husserl dan
Fenomenologi Sosial oleh Alfred Schutz. Antara 2 pemikiran ini terdapat kesamaan
dari sudut pandang fenomenologi yang telah digarisbawahi oleh Deetz dalam
hubungannya dengan studi komunikasi.
Pertama dan prinsip
paling dasar fenomenologi adalah bahwa pengetahuan tidak dapat ditemukan dalam
pengalaman eksternal tetapi dalam diri kesadaran individu. Jadi, fenomenologi
lebih mengitari penelitian untuk pemahaman subjektif ketimbang mencari
objektivitas sebab akibat dan penjelasan universal. Kedua, makna adalah
derivasi dari potensialitas sebuah objek atau pengalaman yang khusus dalam
kehidupan pribadi. Intinya, makna yang berasal dari suatu objek atau pengalaman
akan bergantung pada latar belakang individu dan kejadian tertentu dalam hidup.
Ketiga, kalangan fenomenologi percaya bahwa dunia dialami dan makna dibangun
melalui bahasa. Asumsi ini mengikuti pendapat kalangan konstruksionisme sosial.
Fenomenologi
Transendental (fenomenologi klasik) dicetuskan oleh Edmund Husserl (1859-1938),
seorang fisikawan dan ahli matematika. Fokus perhatiannya adalah tesis bahwa
dalam keseharian hidup kita, esensi dari objek dan pengalaman menjadi kabur
dengan konsep yang diterima begitu saja yang kemudian menjadi sebuah kebenaran
umum. Contohnya, kita berinteraksi di meja makan pada saat makan malam
dikatakan sebuah kesepakatan mengenai siapa kita sebagai anggita keluarga,
namun kita biasa menerima interaksi ini begitu saja serta makna yang mereka
dapatkan. Karena adanya kekaburan ini, Husserl percaya bahwa “inti usaha
fenomenologi adalah untuk memurnikan sikap alamiah kehidupan sehari-hari dengan
tujuan menerjemahkannya sebagai sebuah objek untuk penelitian filsafat secara
cermat dan dalam rangka menggambarkan serta memperhitungkan struktur
esensialnya” (Natanson; 1996,hal 3)
Tujuan pemurnian ini dicapai dengan
metode Epoche yang meliputi pemberian tanda kurung (bracketing) atau menunda
sikap-sikap alamiah dari hal – hal kehidupan yang diterima begitu saja dalam
rangka memperoleh pemahaman yang lebih murni dari fenomena yang diinvestigasi.
Menurut fenomenologi transendental, pemahaman yang benar atas sebuah fenomena
dapat dinilai jika bias personal, sejarah, nilai dan kertertarikan dapat
dimurnikan berdasarkan waktu investigasi.
Jika logika
transendental yang menjadi landasan dari fenomenologi Husserl adalah seperti
yang dipaparkan oleh van Peursen (1988), maka menjadi agak jelas bahwa
fenomenologi transendental adalah fenomenologi yang berusaha meraih pemahaman
tentang obyek-obyek melalui pengenalan yang terus menerus dan semakin mendalam.
Sedangkan dalam
fenomenologi sosial, Alfred Schutz (1899-1959) menerima banyak prinsip dari
Husserl, kecuali ajaran tentang penundaan (pemberian tanda kurung) atas
kehidupan dunia agar kemurnian dapat diperoleh. Ia membahas cara –cara agar
intersubektivitas kehidupan dunia dapat didekati dan dipahami. Schutz lebih
menitikberatkan pada intensitas pembelajaran tentang lebenswelt, bukan pada
prinsip pemberian tanda kurung atasnya ( penundaan makna dan definisi kita atas
realitas ). Menurutnya, keseharian kehidupan dunia ini dapat dipahami dalam
term term yang kita sebut pelambangan/penipean (typications) yang digunakan
untuk mengorganisasikan dunia sosial. Penipean ini adalah konstruk interprtasi
yang berubah-ubah berdasarkan latar belakang kehidupan seseorang, budayanya,
dan konteks sosial tertentu.
Intinya, Secara literal
fenomenologi adalah studi tentang fenomena, atau tentang segala sesuatu yang
tampak bagi kita di dalam pengalaman subyektif, atau tentang bagaimana kita
mengalami segala sesuatu di sekitar kita. Setiap orang pada dasarnya pernah
melakukan praktek fenomenologi. Ketika anda bertanya “Apakah yang aku rasakan
sekarang?”, “Apa yang sedang kupikirkan?”, “Apa yang akan kulakukan?”, maka
sebenarnya anda melakukan fenomenologi, yakni mencoba memahami apa yang anda
rasakan, pikirkan, dan apa yang akan anda lakukan dari sudut pandang orang
pertama.
DAFTAR
PUSTAKA
Stephen W
Littlejohn & Karen A. Foss, Theories of Human Communication, Jakarta,
Salemba Humanika, 2011, p 57-59
http://zoelnayaries.blogspot.co.id/2011/05/teori-komunikasi-interpretif.htm
https://pubon.blogspot.co.id/2013/02/pengertian-interpretive.html
http://mariatarsisiasusilo.blogspot.co.id/2010/03/teori-teori-komunikasi.html
http://catatan-anakfikom.blogspot.co.id/2012/03/perspektif-interpretatif.html
Komentar
Posting Komentar