SELF DISCLOSURE ANAK PEMULUNG
SELF DISCLOSURE ANAK PEMULUNG KEPADA
PENDAMPING DI RUMAH PERSAHABATAN KEDOYA
(Makalah Untuk Tugas Mata Kuliah Teori Komunikasi)
DISUSUN OLEH:
NAMA : YULIUS HARYANTO SERAN
DOSEN TEORI KOMUNIKASI:
SOFIA AUNUL M.Si
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS MERCU BUANA
SEMESTER GENAP TAHUN AJARAN 2016/2017
DAFTAR ISI
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………..20
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.
Menjadi
seorang anak yang berbeda dengan kebanyakan anak-anak lainnya memang terasa
aneh dan tidak menyenangkan. Apalagi menjadi seorang anak di kota Jakarta yang
merupakan kota metropolitan yang maju dan berkembang. Perasaan inilah yang
acapkali dialami anak-anak yang memiliki orangtua pemulung, dimana pekerjaan
pemulung lebih sering dianggap hina oleh masyarakat kebanyakan. Bayangkan,
ketika anak-anak lain seusia mereka diantar ke sekolah dan dijemput dengan
menggunakan sepeda motor atau mobil oleh orangtua atau sopir pribadi, sementara
itu anak-anak pemulung harus berjuang setiap harinya melawan terik yang panas
untuk membantu orangtua mereka dalam mengumpulkan sampah. Sebagian kecil dari
mereka yang bersekolah harus berjalan kaki untuk sampai di sekolah. Namun saat
berada di sekolah, mereka pun sudah pasti akan terlibat dalam lingkaran
sosialisasi di antara lingkungan
teman-teman sekelasnya yang berasal dari berbagai latar belakang
ekonomi.
Anak-anak
pemulung, juga adalah inidvidu-indivivu yang “terlempar” dari realitas
masyarakat. Kehidupan mereka tidak hanya menjadi berat karena situasi ekonomi
yang serba kekurangan, tapi juga setiap hari mereka hidup dalam ketakutan. Ada
banyak ketakutan yang dialami anak-anak pemulung, misalnya takut orangtua
mereka di-sweeping Satpol PP saat
sedang mencari nafkah di luar rumah, ada pula ketakutan terhadap gubuk mereka yang
sewaktu-waktu dapat digusur oleh Pemerintah.
Kompleksitas
keadaan ini kerap menjadi faktor utama seorang anak pemulung menjadi sangat
tertutup ketika berhadapan dengan orang lain. Mereka lebih cenderung
membentengi diri agar lawan bicaranya tidak banyak mengetahui tentang situasi
hidup dan masalah-masalah yang dialami. Namun sebaliknya, jika anak-anak ini
sudah mengenal baik lawan bicaranya, tentu saja melalui proses pengenalan yang
tidak instan, maka mereka pun akan relatif lebih banyak membuka diri. Proses
untuk sampai pada tahap pembukaan atau pengungkapan diri inilah yang akan coba
digali penulis, untuk melihat fenomena, proses dan hasil yang terjadi pada
hubungan interpersonal antara seorang anak pemulung dengan pendamping di Rumah
Persahabatan – Mensa – Kedoya, Jakarta Barat.
Lebih
lanjut, mengapa pengungkapan diri (self
disclosure) menjadi sangat penting bagi anak-anak pemulung ini kepada
pendampingnya? Jawaban dari kacamata psikologis adalah bahwa anak-anak ini
membutuhkan lawan bicara yang bisa memahami keadaan mereka yang sebenarnya.
Dengan demikian, pengungkapan diri anak-anak ini tidak hanya membantu para
pendamping untuk mengetahui lebih mendalam tentang kebutuhan mendasar anak-anak
ini dalam proses pendampingan, tapi juga membantu diri mereka sendiri untuk
keluar dari sebuah beban psikologis atas kehidupan serba susah yang dialami.
Dengan membuka diri dan menceritakan banyak hal tentang kehidupan mereka,
tentunya kepada orang yang benar-benar mau mendengarkan dan memahami, maka
dengan sendirinya secara psikologis mereka pun terbantu untuk mengalami sebuah
“pembebasan diri” secara mental.
1.2 Rumusan Masalah.
Dari
pemaparan latar belakang di atas, penulis mencoba untuk merumuskan masalah
pokok yang akan dibahas dalam makalah ini. Beberapa poin penting yang menjadi
masalah adalah:
-
Seperti apa proses Self Disclosure anak-anak pemulung terhadap kakak-kakak
pendamping?
-
Faktor apa saja (eksternal
dan internal) yang menentukan
cepat atau lambatnya proses Self Disclosure anak-anak pemulung terhadap
kakak-kakak pendamping?
-
Mengapa pengungkapan diri (self disclosure) sangat penting dalam
hubungan, terutama dalam konteks
hubungan antara anak pemulung dan pendamping?
Ketiga
rumusan masalah inilah yang akan diteliti dan dikembangkan penulis menjadi sebuah
makalah, tentunya berkaitan erat dengan metode penelitian dan hasil yang akan didapatkan.
1.3 Tujuan Penulisan Makalah.
Pertama-tama,
karena makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas individu dalam matakuliah Teori Komunikasi di Universitas Mercu Buana – Jakarta, maka
tujuan pertama yang ingin dicapai adalah pemahaman yang lebih mendalam terhadap
Self Disclosure sebagai salah satau teori penting dalam Komunikasi Antarpribadi
(Interpersonal). Untuk itu, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada Ibu Sofia Aunul, M.Si sebagai dosen pengampuh mata kuliah Teori
Komunikasi, yang telah memberikan stimulus kepada penulis untuk meneliti
teori ini secara lebih mendalam.
Kedua,
karena Self Disclosure sangat penting dalam Komunikasi Antarpribadi, maka
penulis juga berharap dapat mempraktekkan pemahaman-pemahaman yang diperoleh
dari penilitian ini, terutama dalam membangun komunikasi antarpribadi dengan
orang lain.
BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Self Disclosure
Self disclosure merupakan
bagaimana kita menginformasikan tentang diri kita kepada orang lain tentang
nilai, kepercayaan dan keinginan, perilaku diri kita serta karakteristik atau
kualitas diri (Sediyaningsih dkk, 2010). Secara sederhana, Self disclosure
adalah penyingkapan diri dan yang mempunyai arti membeberkan informasi tentang
diri kita sendiri” (Tubbs & Moss, 1996). Dalam arti lain, De Vito
menjelaskan bahwa Self Disclosure adalah jenis komunikasi, dimana kita
mengungkapkan informasi tentang diri kita sendiri yang biasanya kita kita
sembunyikan (Devito, 1997, p.62).
Self disclosure penting
dilakukan pada saat berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain, karena
kesalahan dalam menginformasikan siapa diri kita sebenarnya akan menyebabkan
komunikasi terhenti. Self disclosure
dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara verbal dan nonverbal. Cara verbal
ditunjukkan melalui kata-kata. Sedangkan cara nonverbal ditunjukkan dengan cara
berpenampilan, bertingkah laku, dan lain-lain. Self-disclosure juga dapat dilakukan saat seseorang berkomunikasi
dalam konteks interpersonal maupun kelompok.
Menurut
Derlega & Grzelak (dalam Taylor, 2000) terdapat lima
alasan utama untuk pengungkapan diri adalah :
1. Expression
Kadang-kadang
individu membicarakan perasaannya untuk pelampiasan karena mengekspresikan perasaan
adalah salah satu alasan untuk pengungkapan diri.
2.
Self
Clarification
Dalam
proses berbagi perasaan atau pengalaman dengan orang lain, individu mungkin mendapat
self-awareness dan pemahaman yang
lebih baik. Bicara kepada teman mengenai masalah dapat membantu individu untuk
mengklarifikasi pikirannya tentang situasi yang ada.
3.
Social Validation
Dengan
melihat bagaimana reaksi pendengar pada pengungkapan diri yang dilakukan, individu mendapat informasi tentang kebenaran dan ketepatan
pandangannya.
4.
Social
Control
Individu
mungkin mengungkapkan atau menyembunyikan informasi tentang dirinya, sama
seperti arti dari kontrol sosial. Individu mungkin menekan topik, kepercayaan
atau ide yang akan membentuk pesan yang baik pada pendengar. Dalam kasus yang
ekstrim, individu mungkin dengan sengaja berbohong untuk mengeksploitasi orang
lain.
5. Relationship Development
Banyak penelitian yang menemukan bahwa kita lebih terbuka (disclosure) kepada orang yang dekat dengan kita, seperti : suami/istri,
keluarga, sahabat dekat. Penelitian lain mengklaim bahwa kita lebih disclosure pada orang yang kita sukai
daripada orang yang tidak kita sukai. Kita lebih sering untuk terbuka kepada
orang yang sepertinya
menerima, memahami, bersahabat, dan mendukung kita.
2.2 Tingkatan Dalam Self Disclosure
Pada
dasarnya, “untuk mengklasifikasi kedalaman dari keterbukaan atau self
disclosure adalah dengan melihat tipe dari informasi yang kita ungkapkan”
(Adler dan Rodman, 1948, p.170). Tipe-tipe dari komunikasi ini dapat terlihat
dari empat lingkaran konsentris, seperti berikut :
Dalam
setiap lingkaran tersebut, mempresentasikan tipe-tipe komunikasi yang berbeda
satu dengan yang lain. Berikut ini adalah penjelasan lebih lanjut mengenai
tingkatan pengungkapan diri dalam self disclosure, yaitu (Adler dan Rodman,
1948, p.170-172) :
1.
Klise (Cliches)
Adalah bagian terluar dari lingkaran konsentris dalam tingkatan
self disclosure. Bagian klise ini adalah bagian yang tersusun dan merupakan
bagian dari respon terhadap situasi sosial. Pada bagian ini merupakan taraf
pengungkapan diri yang paling lemah atau dangkal, walaupun terdapat keterbukaan
diantara individu, terapi tidak terjadi hubungan antar pribadi. Masingmasing
individu berkomunikasi basa-basi sekedar kesopanan.
2.
Fakta (Facts)
Pada bagian ini, tidak semua pernyataan yang berupa fakta termasuk
dalam bagian self disclosure. Adapun beberapa kriteria dari fakta dalam self
disclosure ini adalah bersifat penting, disengaja untuk diungkapkan, dan tidak
atau belum diketahui oleh pihak sebaliknya. Pada bagian ini, yang diungkapkan
hanyalah tentang orang lain atau hal-hal yang diluar dirinya. Walaupun pada
tingkat ini isi komunikasi lebih mendalam tetapi pada tingkat ini individu
tidak mengungkapkan diri.
3.
Opini (opinion)
Pada bagian ini individu mengatakan apa yang ada dalam pikiran.
Pada tingkatan ini, menyatakan gagasan atau pendapat sudah mulai dijalin
hubungan yang erat. Individu mulai mengungkapkan dirinya kepada individu lain.
4.
Perasaan (Feeling)
Pada bagian perasaan ini hampir serupa dengan opini namun memiliki
beberapa perbedaan mendalam. Dalam tingkatan self disclosure bagian perasaan
ini, pengungkapan lebih didasarkan pada apa yang ada dalam hati atau yang
dirasakan. Setiap individu dapat memiliki gagasan atau pendapat yang sama tetapi
perasaan atau emosi yang menyertai gagasan atau pendapat setiap individu dapat
berbeda-beda. Setiap hubungan yang menginginkan pertemuan antar pribadi yang
sungguh-sungguh haruslah didasarkan atas hubungan yang jujur, terbuka dan
menyarankan perasaan-perasaan yang mendalam.
.
2.3 Pentingnya Self Disclosure
Sebuah
hubungan antarpribadi yang sehat ditandai oleh keseimbangan pengungkapan diri
atau self disclosure yang tepat yaitu saling memberikan data biografis, gagasan
– gagasan pribadi dan perasaan – perasaan yang tidak diketahui bagi orang lain,
dan umpan balik berupa verbal dan respon – respon fisik kepada orang dan atau
pesan – pesan mereka di dalam suatu hubungan (Budyatna & Ganiem, 2011, p.
40).
“Self disclosure atau pengungkapan diri
merupakan hal yang penting dalam sebuah hubungan dan secara fisik karena self
disclosure dapat meningkatkan komunikasi yang efektif dan melindungi tubuh dari
stres” (DeVito, 1999). Hal ini ditegaskan oleh Bungin bahwa Self Disclosure
merupakan kebutuhan seseorang karena dengan pengungkapan diri seseorang dapat
menemukan jalan keluar atas tekanan – tekanan yang terjadi pada dirinya”
(Bungin, 2006, p. 261).
Manfaat
lain dari self disclosure adalah Orang yang rela membuka diri kepada orang lain terbukti cenderung memiliki
sifat-sifat seperti: kompeten, ekstrover, fleksibel, adaptif, dan inteligen.
Dan yang lebih bagusnya lagi, orang-orang ini cenderung lebih bahagia.
2.4 Hambatan Dalam Self Disclosure
Dalam
proses self disclosre, tentu tidak semuanya berhasil. Penyebabnya adalah tidak
semua orang dapat menanggapi apa yang kita sampaikan bahkan sering terjadi
salah paham sehingga malah menimbulkan masalah baru. Ketika seseorang telah
mengetahui diri kita, bisa saja orang lain ini memanfatkan apa yang telah dia
ketahui mengenai diri kita. Menurut Valerian Derlega (dalam Taylor 2000)
menyatakan ada beberapa resiko yang mungkin dialami individu saat mereka sedang
mengungkapkan diri, antara lain:
1.
Indefference
Individu berbagi informasi dengan orang lain untuk memulai hubungan.
Terkadang, hal itu dibalas oleh orang tersebut dan hubungan pun terjalin. Hal
yang sebaliknya dapat terjadi apabila individu menemui orang yang tidak
membalas dan kelihatan tidak tertarik mengetahui tentang individu tersebut.
2.
Rejection
Informasi
yang diungkapkan individu mungkin akan berakibat penolakan sosial.
3. Loss of Control
Kadang-kadang orang lain menggunakan informasi yang diberikan
sebagai alat untuk menyakiti atau mengontrol perilaku individu.
4.
Betrayal
Ketika individu mengungkapkan informasi pada seseorang, individu
sering mengingatkan bahwa informasi ini rahasia. Tapi sering kali informasi ini
tidak dirahasiakan dan diberitahu kepada orang lain.
BAB III METODE
3.1 Metode & Waktu Penelitian
Metode yang
digunakan penulis dalam menyelesaikan makalah ini adalah observasi, yaitu
dengan mewawancara para pendamping di Sekolah Damai, Rumah Persahabatan Kedoya
terkait perkembangan anak-anak yang didampinginya. Selain itu, penulis terlibat
langsung untuk mengamati perkembangan anak-anak yang telah ditentukan dalam
sample penelitian, sehingga hasil analisa yang didapatkan menjadi lebih akurat
dan mendalam.
Waktu
penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah pada hari Minggu, 4 juni 2017.
3.2 Subjek Penelitian
Subjek
penelitian adalah sumber data yang dibutuhkan peneliti dalam sebuah penelitian.
Informan dipilih guna mendapat informasi yang sesuai permasalahan penelitian,
dimana terlebih dahulu peneliti menetapkan siapa saja informannya kemudian
mendelegasikan tugas di bidang yang sesuai dengan penelitian. Informan –
informan tersebut akan diminta untuk bertukar pikiran dengan peneliti,
berbicara, atau membandingkan suatu kejadian yang diungkapkan subjek lain
(Moleong, 2006, p,132).
Dengan
berpegang kepada pertimbangan di atas, maka subyek penelitian dari penulisan makalah ini
adalah kakak-kakak pendamping yang diwawancara dan beberapa anak pemulung yang
sudah ditentukan dengan metode sample.
Berikut
adalah nama kakak-kakak pendamping yang diwawancarai:
- Densi
Anin (Perempuan, Usia 25 tahun)
- Daniel
Desandika (Laki-laki, Usia 27 tahun)
- Asri
Wersun (Perempuan, Usia 24 tahun)
- Wastu
(Laki-laki, Usia 28 tahun)
Sedangkan untuk anak-anak pemulung yang dipilih menjadi sampel
penelitian adalah:
- Intan
(Perempuan, usia 7 tahun, tidak sekolah)
- Nurcahya
(Laki-laki, Usia 11 tahun, putus sekolah)
- Rizki
(Laki-laki, Usia 7 tahun, tidak sekolah)
- Mulia
(Perempuan, Usia 9 tahun, tidak sekolah)
- Nidi
(Laki-laki, usia 12 tahun, kelas 4 SD)
BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS DATA
4.1 Pengumpulan Data
Dalam penulisan makalah ini, hasil penelitian
diperoleh melalui wawancara kakak-kakak
pendamping di Rumah Persahabatan Mensa – Kedoya, dengan menggunakan beberapa
pertanyaan pokok, sebagai berikut.
1.
Apa gambaran umum yang kakak
ketahui tentang sosok anak ini, misalnya terhadap Intan?
2.
Apakah kakak masih mengingat
sosok (contoh: Intan) saat pertamakali ia bergabung dengan teman-teman di Rumah
Persahabatan?
3.
Bagaimana dengan karakter
(contoh: Intan) saat pertamakali bertemu kakak? Apakah ia pemalu dan tertutup
atau sebaliknya terbuka dan langsung merasa nyaman?
4.
Bagaimana cara pendekatan
kakak terhadap (contoh: intan) agar ia menjadi terbuka dan lebih dekat atau
nyaman dengan kakak?
5.
Setelah mengenal (contoh:
Intan) apa yang anda ketahui tentang latar belakang kehidupannya di rumah?
6.
Bagaimana penilaian kakak
tentang sosok (contoh: Intan) saat ini?
4.2 Temuan Data
Hasil penelitian
terhadap lima anak pemulung lewat wawancara empat orang kakak pendamping, dapat
dipaparkan dengan jelas dalam tabel-tabel berikut ini.
Tabei 1: Identitas dan kesan
Nama Anak
|
Usia; Sekolah/tidak sekolah
|
Keadaan keluarga
|
Kesan saat pertemuan pertama
|
Kesan saat ini
|
Intan (P)
|
7 thn, tidak sekolah
|
Anak sulung dari dua
bersaudara, ayah dan ibunya berprofesi pemulung;
tinggal di Gang Liam (lokasi pembuangan sampah di Duri Kepa, Kedoya – Jakarta
Barat)
|
Tertutup
|
Ceria dan terbuka
|
Nurcahya (L)
|
11 thn, putus sekolah
|
Anak tunggal dari ayah dan
ibu yang mencari nafkah sebagai pemulung, tinggal di gang Liam (lokasi
pembuangan sampah di Duri Kepa, Kedoya)
|
Cenderung tertutup
|
Masih cenderung tertutup.
|
Mulia (P)
|
9 thn, tidak sekolah
|
Anak sulung dari tiga
bersaudara, tinggal di gang Liam, lokasi pembuangan sampah di Duri Kepa,
Kedoya.
|
Tertutup
|
Terbuka
|
Rizki (L)
|
7 thn, tidak sekolah
|
Anak kedua dari tiga
bersaudara, tinggal di Gang Pilar (lokasi pembuangan sampah di jl Kedoya Duri
Raya.
|
Pemalu dan tertutup
|
Terbuka
|
Nidi (L)
|
12 thn, kelas 4 SD
|
Anak ketiga dari tiga
bersaudara, tinggal di gang pilar, lokasi pembuangan sampah di jl Kedoya Duri
Raya.
|
Tertutup
|
Masih cenderung tertutup
|
Tabei 2: Proses Self Disclosure anak-anak
pemulung kepada pendamping.
Nama
|
Proses
Self Disclosure
|
Alasan
Self Disclosure
|
Berhasil/
Tidak berhasil
|
Intan
|
Klise – fakta – opini – Perasaan
|
Relationship Development
|
Berhasil
|
Nurcahya
|
Klise – fakta – opini – Perasaan
|
Relationship Development
|
Belum berhasil
|
Mulia
|
Klise – fakta – opini – Perasaan
|
Relationship Development
|
Berhasil
|
Rizki
|
Klise – fakta – opini – Perasaan
|
Relationship Development
|
Berhasil
|
Nidi
|
Klise – fakta – opini – Perasaan
|
Relationship Development
|
Belum berhasil
|
Tabel 3: Pola pendekatan pendamping terhadap
anak
Nama
|
Pola pendekatan
|
Densi
|
Memakai teori bawang bombai
|
Daniel
|
Memakai teori bawang bombai
|
Asri
|
Memakai teori bawang bombai
|
Wastu
|
Memakai teori bawang bombai
|
4.3 Analisis Data
Dari proses
wawancara yang telah dilakukan terhadap kakak-kakak pendamping, peneliti menemukan alasan anak-anak pemulung
melakukan Self Disclosure adalah Relationship
Development (lihat: Derlega & Grzelak dalam Taylor, 2000), sedangkan tingkatan-tingkatan Self
Disclosure berjalan normal yaitu dimulai dari tahapan klise, fakta, opini dan
kemudian berakhir dengan perasaan. Namun jika merujuk pada hasil penelitian di
atas, ternyata sejumlah anak berhasil melakukan self disclosure, sedangkan yang
lainnya belum berhasil. Golongan pertama anak-anak
yang mengalami proses Self Disclosure
dengan cepat yaitu Intan, Mulia dan Rizki, sedangkan golongan kedua
anak-anak yang cenderung lamban dalam proses Self Disclosure yaitu Nurcahya dan Nidi. Apa
penyebabnya?
Penulis tidak menemukan adanya hambatan ketakutan akan
dampak yang muncul dari Self Disclosure seperti indeference, rejection, lose of control dan betrayal.
Namun penulis justru menemukan adanya faktor-faktor internal dan eksternal,
yang mempengaruhi cepat atau lambatnya proses self disclosure anak-anak kepada
pendamping.
Hasil analisis itu dapat dipaparkan sebagai berikut:
- Intan
-
Faktor internal: Intan memiliki karakter ekstrovert, dalam artian cepat
membuka diri kepada orang baru jika sudah terjadi komunikasi yang intens dan
berulang-ulang.
-
Faktor eksternal: Keadaan keluarga sebagai pemulung, tidak sekolah.
- Nurcahya
-
Faktor internal: Nurcahya memiliki karakter introvert, cenderung menutup diri tidak
hanya dengan kakak pendamping tapi juga dengan teman-temannya. Penyebabnya adalah usia
Nurcahya yang sudah lebih
dewasa sehingga ada perasaan malu untuk bersosialisasi dengan teman-temanya yang lebih muda usianya. Selain itu, ia juga sudah putus sekolah sehingga menjadi sumber dari perasaan
malu ketika bersosialisasi.
-
Faktor eksternal: Keadaan keluarga sebagai pemulung.
- Mulia
-
Faktor internal: Mulia memiliki karakter ekstrovert yaitu cepat membuka diri kepada
orang yang baru dikenalnya, terutama setelah adanya pertemuan dan komunikasi
yang intens dan berulang-ulang.
-
Faktor eksternal: Keadaan keluarga sebagai pemulung.
- Rizki
-
Faktor internal: Rizki memiliki karakter introvert dalam arti pemalu dan cenderung
tertutup. Tetapi karena banyak teman-teman bermainnya ada di
Rumah persahabatan maka ia pun dengan mudah menjadi terbuka kepada kakak-kakak
pendamping dan bisa bersosialisasi dengan teman-temannya.
-
Faktor eksternal: Keadaan keluarga sebagai pemulung.
- Nidi
-
Faktor internal: Nidi sebenarnya memiliki karakter ekstrovert, tapi karena usianya
yang lebih dewasa membuatnnya cenderung tidak nyaman saat datang ke Rumah Persahabatan Kedoya. Hal
itu terjadi karena ia seolah merasa sendirian sehingga menyulitkannya untuk
berkomunikasi bebas dengan siapapun termasuk kakak pendamping. Faktor lain yang ditemukan adalah perasaan gengsi yang bisa saja muncul, karena Nidi adalah salah satu anak yang masih tetap melanjutkan sekolah
sampai saat ini. Faktor tingkat
pendidikan ini membuatnya cenderung tidak mau bergabung dengan teman-temannya terutama pada saat belajar bersama dalam
kelompok.
-
Faktor eksternal: Keadaan keluarga sebagai pemulung.
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Pada
penelitian ini terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi anak-anak untuk menjadi terbuka dan melakukan Self
Disclosure. Anak-anak sendiri sebenarnya
tidak ada rencana karena takut akan mengalami penolakan kakak-kakak pendamping atau takut akan dampak buruk lainnya. Namun karena adanya faktor internal dan eksternal, seperti karakter dan keadaan
kehidupan mereka, menjadi penentu cepat atau
lambatnya proses self disclosure kepada kakak-kakak pendamping.
Self disclosure anak-anak pemulung kepada pendamping juga
memiliki dampak. Pertama, para pendamping menjadi
lebih dekat dengan
anak tersebut, sehingga kebutuhan-kebutuhan dasar dari anak tersebut
dapat lebih dikenal. Sedangkan untuk anak-anak pemulung merasakan dampak hubungan yang
lebih nyaman layaknya “kakak-adik”, sehingga mereka pun memperoleh kepercayaan
diri untuk menjadi dirinya sendiri, tidak lagi
menanggung beban berat dalam hati serta dapat merasakan bahwa tidak semua masyarakat
memberi stigma negatif atau memandang mereka dengan sebelah mata sebagai kaum marginal.
Dan yang
terakhir, tidak ada dampak
negatif yang didapat setelah anak-anak pemulung melakukan self disclosure, justru lebih banyak dampak positif yang membuat
relasi mereka dan para pendamping semakin erat dan terjaga baik.
5.2 Saran
Adapun
beberapa saran yang berkaitan dengan penelitian yang telah dilakukan,
diantaranya:
- Ada
baiknya kita sebagai anggota masyarakat tidak cepat untuk mengadili kaum
marginal di masyarakat, misalnya pemulung, pengemis, pedagang kaki lima,
dan lain-lain. Dengan menghargai mereka sebagai manusia yang bermartabat
sama dengan manusia lainnya, kita pun dapat menanamkan sikap positif dalam
diri untuk bisa berkomunikasi dengan siapa saja tanpa pandang bulu.
- Sebagai
mahasiswa yang banyak belajar tentang teori-teori komunikasi, kita pun
harus lebih banyak mengimplementasikan pengetahuan dan wawasan yang telah
didapatkan di dalam
kehidupan sehari-hari. Ala bisa karena biasa, dan sebuah sikap atau
karakter yang baik
bukan diperoleh secara instan tetapi melalui latihan dan proses yang
berulang-ulang.
DAFTAR
PUSTAKA
Adler, R. B., & George, R. (1948). Understanding Human
Communnication. USA: Saunders College Publishing.
Budyatna, M., & Ganiem, L. M. (2011). Teori Komunikasi Antar
Pribadi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Bungin, B. (2001). Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
DeVito, J. A. (1997). Komunikasi Antar Manusia. Jakarta:
Proffesional Books.
DeVito, J. A. (2011). Komunikasi Antar manusia Edisi 5. Tangerang
Selatan: Karisma Publishing Groups.
Effendy, O. U. (2010). Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya Offset.
Liliweri, A. (1997). Komunikasi Antar Pribadi. Bandung: PT Citra
Aditya Bakti.
Michellida, F. A. (2013). Self Disclosure Perempuan Pengidap Kanker
Payudara Kepada Kekasinya. Jurnal E-Komunikasi Universitas Petra Surabaya
Vol 1 No 3 .
Moleong, L. J. (2006). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Tamara, S. (2016). Self Disclosure Lesbian Kepada Ayah dan Ibu Mengenai
Orientasi Seksualnya. Jurnal E-Komunikasi Universitas Petra Surabaya Vol 4
No 1 .
Tubbs, S., & Moss, S. (1996). Human Communication: Prinsip-prinsip
Dasar. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Komentar
Posting Komentar