METODE PENELITIAN ETNOGRAFI DALAM KONTEKS KOMUNIKASI
Oleh : Yulius Haryanto Seran
Kaka SLANK menari "likurai" di Kabupaten Belu - Nusa Tenggara Timur |
- ETNOGRAFI :
PENGERTIAN DAN SEJARAH
Istilah etnografi sebenarnya merupakan istilah antropologi. Etnografi
merupakan embrio dari antropologi, yaitu lahir pada tahap pertama dari
perkembangannya, yaitu sebelum tahun 1800-an. Etnografi merupakan hasil-hasil
catatan penjelajah Eropa tatkala mencari rempah-rempah ke Indonesia. Mereka
mencatat semua fenomena menarik yang dijumpai selama perjalanannya, antara lain
berisi tentang adat-istiadat, susunan masyarakat, bahasa dan ciri-ciri fisik
dari suku-suku bangsa tersebut (Koentjaraningrat, 1989).[1]
Kata etnografi, berasal dari bahasa Yunani, berarti sebuah deskripsi
mengenai orang-orang, atau secara harafiah, “penulisan
budaya” (Atkinson, 1992). Dalam perspektif keilmuan, tipe penelitian etnografi
menurut Ember dan Ember (1990) mengemukakan bahwa etnografi adalah salah satu
tipe penelitian antropologi budaya. Hal serupa dinyatakan oleh Neuman (2000),
yaitu bahwa etnografi muncul dari antropologi budaya. Istilah etnografi berasal
dari kata Ethnos (bangsa) berarti
orang atau folk, sementara Graphein
(menguraikan) mengacu pada penggambaran sesuatu. Oleh karena itu etnografi
merupakan penggambaran suatu budaya atau cara hidup orang-orang dalam sebuah komunitas
tertentu. Singkatnya, etnografer berusaha memahami budaya atau aspek budaya
melalui serangkaian pengamatan dan interpretasi perilaku manusia, yang
berinteraksi dengan manusia lain. Frey et al (1992) berpendapat etnografi
digunakan untuk meneliti perilaku manusia dalam lingkungan spesifik alamiah.
Etnografer berusaha menangkap sepenuh mungkin, dan berdasarkan perspektif orang
yang diteliti, cara orang menggunakan simbol dalam konteks spesifik. Etnografi
sering dikaitkan dengan hidup secara intim dan untuk waktu yang lama dengan
suatu komunitas pribumi yang diteliti yang bahasanya dikuasai peneliti.[2]
Pada umumnya etnografi terdiri dari dua tipe yaitu etnografi realis
dimana peneliti berperan sebagai pengamat “obyektif” yang merekam
fakta dengan sikap tidak memihak, dan etnografi kritis dimana studinya
diarahkan untuk meneliti struktur kultural dari kekuasaan, hak istimewa dalam masyarakat
untuk menyuarakan kaum marjinal dari berbagai kelas, ras dan gender.[3]
Sarantakos (1993) mengemukakan bahwa budaya merupakan konsep sentral
dari etnografi. Budaya dipelajari sebagai sebuah kesatuan. Entitas budaya
adalah sistem yang digunakan bersama oleh komunitas. Maka kerja etnografer tak
dapat dilakukan di tataran permukaan, ia perlu melakukan in-depth studies. Cara ini menjadi
jaminan kedalaman informasi yang diperoleh peneliti, sekaligus kedalaman
penghayatan atas pengalaman budaya yang dimiliki oleh subjek penelitian.
Lama tidaknya penelitian etnografi ini bergantung pada pemahaman
terhadap gejala yang diteliti. Penelitian bisa berlangsung dalam kurun waktu
singkat bila hanya meliputi satu peristiwa, misalnya meneliti tentang tata cara
upacara perkawinan adat Betawi. Sebaliknya, akan berlangsung dalam waktu
yang lama bila hendak meneliti masyarakat
yang kompleks, seperti tentang latar belakang etnis, agama, umur, atau profesi
dan kelas sosial.[4]
Etnografi membawa peneliti membenamkan diri ke dalam sebuah kelompok,
organisasi, atau komunitas di lapangan dalam jangka waktu yang lebih panjang
karena bertujuan menguraikan suatu budaya secara menyeluruh, yakni semua aspek
budaya, baik yang bersifat material seperti artefak budaya (alat-alat, pakaian,
bangunan dan sebagainya) dan yang bersifat abstrak, seperti pengalaman,
kepercayaan, norma, dan sistem nilai kelompok yang diteliti. Uraian tebal (thick description) merupakan ciri utama
etnografi (Clifford Geertz, 1973 dan Lindlof, 1995).[5]
Etnografi modern muncul pada tahun 1920-an dan 1930-an, ketika para ahli
antropologi seperti Malinowski (1922), Boas (1928), dan Mead (1953) menyelidiki
berbagai budaya non-Barat dan cara-cara hidup orang-orangnya. Sosiologi mazhab
chicago belakangan mempunyai pengaruh pada metode etnografi melalui
kajian-kajian anggotanya terhadap budaya pinggiran dan subkultur-subkultur
“yang asing secara kultural (socially
strange)”, seperti perkampungan kumuh, ghetto-ghetto Yahudi, dan geng-geng
perkotaan. Di bidang komunikasi terencana, riset etnografi telah
mengeksplorasi topik-topik besar seperti Hubungan Masyarakat di Bangalore,
India (Sriramesh, 1996), pengalaman konsumsi pada etnis minoritas, kelompok
orang-orang Pakistan di Inggris (Jamal dan Chapman,2000), identitas profesi di
sebuah biro iklan Swedia (Alvesson, 1994), dan penafsiran iklan oleh
siswa-siswa sekolah di Inggris (Ritson dan Elliott, 1999).[6]
- ETNOGRAFI
DALAM KONTEKS KOMUNIKASI[7]
Sebagai sebuah metode,
etnografi mengkhususkan diri pada kajian mengenai pola komunikasi yang
digunakan oleh manusia dalam suatu masyarakat tutur. Sebagai sebuah metode yang
relatif ‘baru’ di Indonesia, metode penelitian etnografi ini sebenarnya sudah
diperkenalkan jauh-jauh hari, tepatnya pada tahun 1962 oleh penggagas awalnya
yakni Dell Hymes. Konon, pendekatan ini lahir sebagai kritik dari ilmu
linguistik yang lebih menekankan pada
segi fisik bahasanya saja.
Definisi etnografi
komunikasi secara sederhananya adalah pengkajian peranan bahasa dalam perilaku
komunikasi suatu masyarakat, yaitu cara-cara bagaimana bahasa dipergunakan
dalam masyarakat yang berbeda-beda kebudayannya (Koentjaraningrat, dalam
Kuswarno, 2008:11).
Etnografi komunikasi
(ethnography of communication) juga bisa dikatakan salah satu cabang dari
Antropologi, lebih khusus lagi adalah turunan dari Etnografi Berbahasa (ethnography of speaking). Awalnya,
Hymes (1962) memperkenalkan ethnography of
speaking ini sebagai pendekatan baru
yang memfokuskan dirinya pada pola perilaku komunikasi sebagai salah satu
komponen penting dalam system kebudayaan dan pola ini berfungsi di antara
konteks kebudayaan yang holistic dan
berhubungan dengan pola komponen system yang lain (Muriel, 1986). Dalam
perkembangannya, rupanya Hymes lebih condong pada istilah etnografi komunikasi
karenanya menurutnya, yang jadi kerangka acuan dan ‘ditempati’ bahasa dalam
suatu kebudayaan adalah pada ‘komunikasi’nya dan bukan pada ‘bahasanya’. Bahasa hidup dalam komunikasi, bahasa tidak
akan mempunyai makna jika tidak dikomunikasikan.
Etnografi komunikasi juga
tidak bisa berdiri sendiri. Ia membutuhkan dukungan ilmu-ilmu lain di antaranya
adalah sosiologi karena nantinya akan berkenaan dengan analisis interaksional
dan persoalan identitas peran; ia juga memerlukan kehadiran antropologi karena
dalam tataran tertentu bersentuhan dengan kebiasaan masyarakat dalam
menggunakan bahasa dan filosofi yang melatarbelakanginya; dan tentu saja tidak
bisa melupakan disiplin sosiolinguistik untuk mengetahui bagaimana penggunaan
bahasa dalam interaksi sosial.
- RUANG
LINGKUP DAN OBYEK PENELITIAN ETNOGRAFI KOMUNIKASI
Menurut Hymes (Syukur dalam
Kuswarno,2008:14), ada enam lingkup kajian etnografi komunikasi yaitu :
- Pola dan fungsi komunikasi ( patterns and
functions of communication)
- Hakikat dan definisi masyarakat tutur ( nature
and definition of speech community).
- Cara-cara berkomunikasi ( means of
communicating).
- Komponen-komponen kompetensi komunikasi
(component of communicative competence)
- Hubungan bahasa dengan pandangan dunia dan
organisasi sosial ( relationship of language to world view and sosial
organization)
- Semesta dan ketidaksamaan linguistic dan sosial
(linguistic and sosial universals and inqualities )
- Masyarakat
tutur (speech community). Hymes memberi batasan mengenai masyarakat tutur adalah suatu
kategori masyarakat di mana anggota-anggotanya tidak saja sama-sama
memilliki kaidah untuk berbicara, tetapi juga satu variasi linguistik
tertentu. Sementara menurut Seville
–Troike, yang dimaksud masyarakat tutur tidak harus memiliki satu bahasa,
tetapi memiliki kaidah yang sama dalam berbicara ( Syukur, dalam Kuswarno,
2008:39,40). Jadi batasan utama yang membedakan masyarakat tutur satu
dengan yang lain adalah kaidah-kaidah untuk berbicara. Sehingga suatu suku
bangsa atau kebudayaan bisa saja memiliki dua atau lebih masyarakat tutur.
- Aktivitas
komunikasi.
Setelah menemukan atau mengidentifikasi masyarakat tutur, maka tahap
selanjutnya bagi etnografer adalah menemukan aktivitas komunikasi-nya atau
mengidentifikasi peristiwa komunikasi atau proses komunikasi. Menurut
Hymes, tindak tutur atau tindak komunikasi mendapatkan statusnya dari
konteks sosial, bentuk gramatika
dan intonasinya. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis aktivitas
komunikasi dalam etnografi komunikasi, maka kita memerlukan pemahaman
mengenai unit-unit diskrit aktivitas komunikasi. Hymes mengemukakan unit
diskrit komunikasi itu adalah (Syukur dalam Kuswarno, 2008:41):
- Situasi
komunikatif dan konteks terjadinya komunikasi
- Peristiwa
komunikatif atau keseluruhan perangkat komponen yang utuh yang meliputi tujuan
umum komunikasi, topic umum yang sama, partisipan yang secara umum menggunakan
varietas bahasa yang sama, dengan kaidah-kaidah yang saya dalamberinteraksi dan
dalam setting yang sama.
- Tindak
komunikatif, yaitu fungsi interaksi tungga seperti pernyataan, permohonan,
perintah ataupun perilaku non verbal.
Pendeknya, yang
dimaksud aktivitas komunikasi dalam etnografi komunikasi tidak lagi bergantung/bertumpu
pada pesan, komunikator, komunikan, media, dan efeknya melainkan aktivitas khas
yang kompleks di mana di dalamnya terdapat peristiwa-peristiwa khas komunikasi
yang melibatkan tindak-tindak komunikasi khusus dan berulang.
- Komponen
Komunikasi. Komponen komunikasi merupakan bagian
yang paling penting dalam kajian etnografi komunikasi. Yang dimaksud
komponen komunikasi dalam etnografi komunikasi adalah (Syukur dalam
Kuswarno, 2008: 42,43):
-
Genre
atau tipe peristiwa komunikasi ( misal lelucon, salam, perkenalan, dongen,
gossip dll)
-
Topik
peristiwa komunikasi.
-
Tujuan
dan fungsi peristiwa secara umum dan juga fungsi dan tujuan partisipan secara
individual.
-
Setting
termasuk lokasi, waktu, musim dan aspek fisik situasi yang lain
-
Partisipan,
termasuk usianya, jenis kelamin, etnik, status sosial, atau kategori lain yang
relevam dan hubungannya satu sama lain.
-
Bentuk
pesan, termasuk saluran verbal, non
verbal dan hakikat kode yang digunakan, misalnya bahasa mana dan varietas mana.
-
Isi
pesan, mencakup apa yang dikomunikasikan termasuk level konotatif dan referensi
denotative.
-
Urutan
tindakan, atau urutan tindak komunikatif atau tindak tutur termasuk alih
giliran atau fenomena percakapan.
-
Kaidah
interaksi.
-
Norma-norma
interpretasi, termasuk pengetahuan umum, kebiasaan, kebudayaan, nilai dan norma
yang dianut, tabu-tabu yang harus dihindari, dan sebagainya.
- Kompetensi
Komunikasi. Tindak komunikasi individu sebagai
bagian dari suatu masyarakat tutur dalam perspektif etnografi komunikasi
lahir dari integrasi tiga ketrampilan yaitu ketrampilan linguistik,
ketrampilan interaksi dan ketrampilan kebudayaan. Kompetensi inilah yang
akan sangat mempengaruhi penutur ketika mereka menggunakan atau
menginterpretasikan bentuk-bentuk linguistik. Kompetensi komunikasi ini
meliputi (Syukur dalam Kuswarno, 2008: 43,44):
-
Pengetahuan
dan harapan tentang siapa yang bisa atau tidak bisa berbicara dalam setting
tertentu?
-
Kapan
mengatakannya?
-
Bilamana
harus diam?
-
Siapa
yang bisa diajak bicara?
-
Bagaimana
berbicara kepada orang-orang tertentu yang peran dan status sosialnya berbeda?
-
Apa
perilaku non verbal yang pantas?
-
Rutin
yang bagaimana yang terjadi dalam alih giliran percakapan?
-
Bagaiamana
menawarkan bantuan?
-
Bagaimana
cara meminta informasi dan sebagainya?
- Varietas
Bahasa. Pemolaan komunikasi (communication patterning) akan lebih jelas bila diuraikan
dalam konteks varietas bahasa. Hymes menjelaskan bahwa dalam setiap
masyarakat terdapat varietas kode bahasa (language code) dan cara-cara berbicara yang bisa dipakai oleh
anggota masyarakat atau sebagai repertoire
komunikatif masyarakat tutur. Variasi ini akan mencakup semua varietas
dialek atau tipe yang digunakan dalam populasi sosial tertentu, dan
factor-faktor sosiokultural yang mengarahkan pada seleksi dari salah satu variasi bahasa yang ada.
Sehingga pilihan varietas yang dipakai akan menggambarkan huubungan yang
dinamis antara komponen-komponen komunikatif dari suatu masyarakat tutur,
atau yang dikenal sebagai pemolaan komunikasi (communication patterning).
- METODE PENGUMPULAN DATA DALAM ETNOGRAFI
Koentjaraningrat, sebagaimana dikutip Burhan Bungin (2005) menjelaskan
bahwa teknik pengumpulan data dapat digolongkan menjadi 9 (sembilan)
yaitu, teknik:
1.
Pengamatan;
2.
Pengamatan
dengan menceburkan diri ke dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan suku
bangsa yang menjadi obyek penelitian atau participant
observer method;
3.
Wawancara
merdeka (bebas, pen);
4.
Wawancara
terpimpin;
5.
Pengedaran
daftar pertannyaan atau questionnaire;
6. Mencatat
pembicaraan para informan atau orang-orang di dalam masyarakat secara tepat
atau text recording;
7. Pencatatan
biografi-biografi dari anggota-anggota masyarakat yang menjadi obyek penelitian
atau life history approach;
8.
Mempergunakan
test-test psikologi;
9. Menghitung
dan mencatat angka-angka statistik dari peristiwa dan akrivitas masyarakat dan
kebudayaan atau statistical methods.
Namun dalam konteks penelitian kualitatif etnografi, teknik pengumpulan
data lapangan sendiri dapat menggunakan salah satu atau lebih yang termasuk
dalam metode etnografi, yaitu observasi partisipatif, in-depth interview, introspeksi, observasi tanpa partisipan, dan
analisis dokumen.[8]
Menurut Deddy Mulyana, seperti penelitian naturalistik,
etnografi sebenarnya juga memanfaatkan beberapa teknik pengumpulan data,
meskipun teknik utamanya adalah pengamatan berperan-serta (participant observation).[9]
Cirikhas penelitian lapangan etnografi adalah bersifat holistic, integrative, thick description, dan analisis
kualitatif untuk mendapatkan native’s
point of view. Sehingga teknik pengumpulan data yang utama adalah
observasi-partisipasi dan wawancara terbuka serta mendalam, dalam jangka waktu
yang relative lama dan akan sangat berbeda dalam penelitian survey.[10]
Etnografer (orang yang melakukan penelitian etnografi) akan
berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun tinggal bersama masyarakat yang diteliti,
sehingga metode penelitian etnografi sangat berguna untuk mempelajari bagaimana
individu mengkategorikan pengalamannya. Kemudian akan pula dipahami konsep dan
makna yang dimiliki oleh suatu masyarakat, sehingga memberikan pengertian yang
mendalam mengenai pandangan hidup yang dimilikinya, termasuk kebudayaan yang
dianutnya. Sehingga faktor utama yang penting dalam penelitian etnografi
adalah soal waktu, maka sang etnografer perlu mempertimbangkan juga berapa lama
waktu yang dibutuhkan, dari mulai persiapan sampai penulisan laporan.[11]
Bulan-bulan pertama akan dihabiskan etnografer untuk mempelajari bahasa
penduduk asli. Utamanya untuk mengajari bagaimana etnografer berkomunikasi
dengan penduduk asli. Dengan mempelajari bahasa asli, para etnografer menjadi
paham bagaimana penduduk asli mengkategorikan pengalamannya, dan menggunakan
kategori-kategori itu dalam pemikiran biasa. Sehingga mereka dengan mudah dapat
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dipahami oleh penduduk asli dan sekaligus
menemukan permasalahan-permasalahan yang ada di balik aktivitas sehari-hari.[12]
Terkait siapa yang harus menjadi informan atau responden dalam
penelitian itu, Creswell menjelaskan akses pertama etnografer di lapangan
adalah “gatekeeper”, yaitu seseorang yang merupakan anggota atau seseorang yang
diakui sebagai bagian dari masyarakat yang diteliti. Keberadaan gatekeeper ini, tidak hanya membantu
peneliti untuk menemukan informan lainnya, tapi juga menurut Karen O’Reilly
dapat menjadi pintu gerbang utama untuk masuk ke dalam lingkungan masyarakat
yang akan diteliti (gaining access).
- TEKNIK
ANALISIS DATA DALAM ETNOGRAFI
Creswell memaparkan teknik analisis data dalam penelitian etnografi terdiri
dari tiga tahapan yaitu:[13]
1.
Deskripsi.
Pada tahap ini etnografer mempresentasikan hasil
penelitiannya dengan menggambarkan secara detil obyek penelitiannya itu. Gaya
penyampaiannya kronologis seperti narator. Dengan membuat deskripsi, etnografer
mengemukakan latar belakang dari masalah yang diteliti, dan tanpa disadari
merupakan persiapan awal menjawab pertanyaan penelitian.
2.
Analisis.
Pada bagian ini, etnografer mengemukakan beberapa data
akurat mengenai obyek penelitian, biasanya melalui table, grafik, diagram,
model, yang menggambarkan obyek penelitian. Bentuk yang lain dari tahap ini
adalah membandingkan obyek yang diteliti dengan obyek lain, mengevaluasi dan
membangun hubungan antar obyek yang diteliti. Pada tahap ini etnografer dapat
pula mengemukan kritik terhadap penelitian-penelitian sebelumnya.
3.
Interpretasi.
Interpretasi menjadi tahap akhir analisis data dalam
penelitian etnografi. Pada tahap ini, etnografer mengambil kesimpulan dari
penelitian yang telah dilakukan. Etnografer menggunakan kata orang pertama
dalam penjelasannya untuk menegaskan bahwa apa yang ia kemukakan adalah murni
hasil interpretasinya.
Kaka SLANK di padang Fulan Fehan, Belu - NTT |
- PENULISAN
LAPORAN HASIL PENELITIAN
Setiap selesai mengadakan penelitian biasanya peneliti membuat laporan
hasil penelitian. Penulisan laporan ini berfungsi untuk memenuhi beberapa
keperluan, seperti keperluan studi akademis, perkembangan ilmu pengetahuan, ada
pula karena penelitian itu dilakukan untuk keperluan lembaga masyarakat,
lembaga pemerintahan, atau lembaga bisnis tertentu. Terakhir, adapula laporan
hasil penelitian dapat dimanfaatkan untuk keperluan publikasi ilmiah.[14]
Berikut adalah teknik menulis sebuah laporan etnografi yang dikemukakan
oleh Karen O’Reilly yang dapat digunakan untuk laporan penelitian etnografi
komunikasi:[15]
1. Introduction.
Dalam bagian ini, etnografer menjelaskan apa yang
menjadi tema dari penelitiannya. Selain itu penjelasan posisi tema penelitian
dari sudut pandang keilmuan.
2. Literature
review.
Bagian ini berisi hal-hal yang berhubungan dengan
obyek penelitian. Misalnya penelitian tentang kaum imigran di Spanyol, maka
literature yang menunjang mencakup komunikasi antar budaya, kebudayaan inggris,
kehidupan ekonomi eropa, kebijakan politik dua negara, dan sebagainya. Jadi
semua pengetahuan yang kurang lebih akan menunjang analisis data.
3. The
setting and background.
Berisi tentang latar belakang penelitian, seperti
sejarah tempat penelitian, kejadian-kejadian yang mempengaruhi tema penelitian,
dan sebagainya. Penjelasan lokasi penelitian beserta gambaran umum masyarakat
yang tinggal di dalamnya, juga dapat dilakukan pada bagian ini.
4. The
methodology and methods.
Bagian ini berisi deskripsi lengkap mengenai bagaimana
etnografer dalam menemukan apa yang dicarinya, termasuk apa saja yang dilakukan
selama di lapangan. Dengan kata lain metode pengumpulan data.
5. Findings.
Berisi semua hal yang etnografer temukan di lapangan.
Bentuknya dapat seperti story telling, atau digabung dengan analisis
etnografer. Yang jelas akan detil atau thick
description.
6. The
conclusion.
Dalam bagian ini, pembaca dibawa ke awal penelitian
untuk melihat kembali apa yang menjadi tujuan penelitian dan isu-isu yang
melatarbelakanginya. Setelah itu barulah dapat ditemukan hubungan dari tujuan
penelitian dan hasil yang dicapai.
Urutan tahapan dalam penelitian etnografi di atas
hanyalah merupakan pedoman saja. Seperti juga penelitian berparadigma
kualitatif lainnya, kreativitas dan imajinasi peneliti sangat juga menentukan sehingga metode
etnografi komunikasi ini akan terus berkembang dan bervariasi.********
Penulis: Yulius Haryanto Seran
DAFTAR PUSTAKA
Bungin, Burhan.
(2003). Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis
Ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Creswell, John
W. (2015). Penelitian Kualitatif & Desain Riset: Memilih Di Antara Lima
Pendekatan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kuswarno,
Engkus. (2008). Etnografi komunikasi: Pengantar dan Contoh Penelitiannya.
Bandung: Widya Padjadjaran.
Moleong, Lexy J.
(1989). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya
Mudjianto,
Bambang. (2009). Metode Etnografi
dalam Penelitian Komunikasi. Jurnal
KOMUNIKASI MASSA, Vol 5, No.1
Mulyana, Deddy.
(2003). Metode Penelitian Kualitatif: Paradigma baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu
Sosial Lainnya. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Zakiah, Kiki.
(2008). Penelitian Etnografi Komunikasi. Jurnal
Mediator, Vol 9, No.1, Juni 2008
[1]
Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatif.
Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005, hlm. 168
[2]
Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2003, hlm. 161.
[3]
John W. Creswell, Penelitian Kualitatif dan Desain Riset, Yogyakarta:
Pustaka pelajar, 2015, hlm 129 - 130
[4]
Deddy Mulyana, Op.Cit., hlm. 161
[5]
Bambang Mudjianto, Metode Etnografi dalam Penelitian
Komunikasi, 2009, Jurnal KOMUNIKASI MASSA, Vol 5, No.1
[6]
Ibid.
[7]
Kiki Zakiah, Penelitian Etnografi Komunikasi, Jurnal
Mediator, Vol 9, No.1, Juni 2008
[8]
Engkus Kuswarno, Etnografi Komunikasi. Bandung: Widya
Padjajaran, 2008, hlm. 48 - 59
[9]
Deddy Mulyana, Op.Cit., hlm. 161.
[13]
Engkus Kuswarno, Op.Cit., hlm. 68
[14]
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung:
Remadja karya, 1989, hlm. 238.
[15]
Engkus Kuswarno, Op.Cit., hlm. 69
Komentar
Posting Komentar