METODE PENELITIAN ETNOGRAFI DALAM KONTEKS KOMUNIKASI


Oleh : Yulius Haryanto Seran


Kaka SLANK menari "likurai" di Kabupaten Belu - Nusa Tenggara Timur

  1. ETNOGRAFI : PENGERTIAN DAN SEJARAH
Istilah etnografi sebenarnya merupakan istilah antropologi. Etnografi merupakan embrio dari antropologi, yaitu lahir pada tahap pertama dari perkembangannya, yaitu sebelum tahun 1800-an. Etnografi merupakan hasil-hasil catatan penjelajah Eropa tatkala mencari rempah-rempah ke Indonesia. Mereka mencatat semua fenomena menarik yang dijumpai selama perjalanannya, antara lain berisi tentang adat-istiadat, susunan masyarakat, bahasa dan ciri-ciri fisik dari suku-suku bangsa tersebut (Koentjaraningrat, 1989).[1]  
Kata etnografi, berasal dari bahasa Yunani, berarti sebuah deskripsi mengenai orang-orang, atau secara harafiah, “penulisan budaya” (Atkinson, 1992). Dalam perspektif keilmuan, tipe penelitian etnografi menurut Ember dan Ember (1990) mengemukakan bahwa etnografi adalah salah satu tipe penelitian antropologi budaya. Hal serupa dinyatakan oleh Neuman (2000), yaitu bahwa etnografi muncul dari antropologi budaya. Istilah etnografi berasal dari kata Ethnos (bangsa) berarti orang atau folk, sementara Graphein (menguraikan) mengacu pada penggambaran sesuatu. Oleh karena itu etnografi merupakan penggambaran suatu budaya atau cara hidup orang-orang dalam sebuah komunitas tertentu. Singkatnya, etnografer berusaha memahami budaya atau aspek budaya melalui serangkaian pengamatan dan interpretasi perilaku manusia, yang berinteraksi dengan manusia lain. Frey et al (1992) berpendapat etnografi digunakan untuk meneliti perilaku manusia dalam lingkungan spesifik alamiah. Etnografer berusaha menangkap sepenuh mungkin, dan berdasarkan perspektif orang yang diteliti, cara orang menggunakan simbol dalam konteks spesifik. Etnografi sering dikaitkan dengan hidup secara intim dan untuk waktu yang lama dengan suatu komunitas pribumi yang diteliti yang bahasanya dikuasai peneliti.[2]
Pada umumnya etnografi terdiri dari dua tipe yaitu etnografi realis dimana peneliti berperan sebagai pengamat “obyektif” yang merekam fakta dengan sikap tidak memihak, dan etnografi kritis dimana studinya diarahkan untuk meneliti struktur kultural dari kekuasaan, hak istimewa dalam masyarakat untuk menyuarakan kaum marjinal dari berbagai kelas, ras dan gender.[3]
Sarantakos (1993) mengemukakan bahwa budaya merupakan konsep sentral dari etnografi. Budaya dipelajari sebagai sebuah kesatuan. Entitas budaya adalah sistem yang digunakan bersama oleh komunitas. Maka kerja etnografer tak dapat dilakukan di tataran permukaan, ia perlu melakukan in-depth studies. Cara ini menjadi  jaminan kedalaman informasi yang diperoleh peneliti, sekaligus kedalaman penghayatan atas pengalaman budaya yang dimiliki oleh subjek penelitian.
Lama tidaknya penelitian etnografi ini bergantung pada pemahaman terhadap gejala yang diteliti. Penelitian bisa berlangsung dalam kurun waktu singkat bila hanya meliputi satu peristiwa, misalnya meneliti tentang tata cara upacara perkawinan adat Betawi. Sebaliknya, akan berlangsung dalam waktu yang  lama bila hendak meneliti masyarakat yang kompleks, seperti tentang latar belakang etnis, agama, umur, atau profesi dan kelas sosial.[4] 
Etnografi membawa peneliti membenamkan diri ke dalam sebuah kelompok, organisasi, atau komunitas di lapangan dalam jangka waktu yang lebih panjang karena bertujuan menguraikan suatu budaya secara menyeluruh, yakni semua aspek budaya, baik yang bersifat material seperti artefak budaya (alat-alat, pakaian, bangunan dan sebagainya) dan yang bersifat abstrak, seperti pengalaman, kepercayaan, norma, dan sistem nilai kelompok yang diteliti. Uraian tebal (thick description) merupakan ciri utama etnografi (Clifford Geertz, 1973 dan Lindlof, 1995).[5] 
Etnografi modern muncul pada tahun 1920-an dan 1930-an, ketika para ahli antropologi seperti Malinowski (1922), Boas (1928), dan Mead (1953) menyelidiki berbagai budaya non-Barat dan cara-cara hidup orang-orangnya. Sosiologi mazhab chicago belakangan mempunyai pengaruh pada metode etnografi melalui kajian-kajian anggotanya terhadap budaya pinggiran dan subkultur-subkultur “yang asing secara kultural (socially strange)”, seperti perkampungan kumuh, ghetto-ghetto Yahudi, dan geng-geng perkotaan. Di bidang komunikasi terencana, riset etnografi telah mengeksplorasi topik-topik besar seperti Hubungan Masyarakat di Bangalore, India (Sriramesh, 1996), pengalaman konsumsi pada etnis minoritas, kelompok orang-orang Pakistan di Inggris (Jamal dan Chapman,2000), identitas profesi di sebuah biro iklan Swedia (Alvesson, 1994), dan penafsiran iklan oleh siswa-siswa sekolah di Inggris (Ritson dan Elliott, 1999).[6]

  1. ETNOGRAFI DALAM KONTEKS KOMUNIKASI[7]
Sebagai sebuah metode, etnografi mengkhususkan diri pada kajian mengenai pola komunikasi yang digunakan oleh manusia dalam suatu masyarakat tutur. Sebagai sebuah metode yang relatif ‘baru’ di Indonesia, metode penelitian etnografi ini sebenarnya sudah diperkenalkan jauh-jauh hari, tepatnya pada tahun 1962 oleh penggagas awalnya yakni Dell Hymes. Konon, pendekatan ini lahir sebagai kritik dari ilmu linguistik  yang lebih menekankan pada segi fisik bahasanya saja.
Definisi etnografi komunikasi secara sederhananya adalah pengkajian peranan bahasa dalam perilaku komunikasi suatu masyarakat, yaitu cara-cara bagaimana bahasa dipergunakan dalam masyarakat yang berbeda-beda kebudayannya (Koentjaraningrat, dalam Kuswarno, 2008:11).
Etnografi komunikasi (ethnography of communication) juga bisa dikatakan salah satu cabang dari Antropologi, lebih khusus lagi adalah turunan dari Etnografi Berbahasa (ethnography of speaking). Awalnya, Hymes (1962) memperkenalkan ethnography of speaking ini sebagai  pendekatan baru yang memfokuskan dirinya pada pola perilaku komunikasi sebagai salah satu komponen penting dalam system kebudayaan dan pola ini berfungsi di antara konteks kebudayaan yang holistic  dan berhubungan dengan pola komponen system yang lain (Muriel, 1986). Dalam perkembangannya, rupanya Hymes lebih condong pada istilah etnografi komunikasi karenanya menurutnya, yang jadi kerangka acuan dan ‘ditempati’ bahasa dalam suatu kebudayaan adalah pada ‘komunikasi’nya dan bukan pada ‘bahasanya’.  Bahasa hidup dalam komunikasi, bahasa tidak akan mempunyai makna jika tidak dikomunikasikan.
Etnografi komunikasi juga tidak bisa berdiri sendiri. Ia membutuhkan dukungan ilmu-ilmu lain di antaranya adalah sosiologi karena nantinya akan berkenaan dengan analisis interaksional dan persoalan identitas peran; ia juga memerlukan kehadiran antropologi karena dalam tataran tertentu bersentuhan dengan kebiasaan masyarakat dalam menggunakan bahasa dan filosofi yang melatarbelakanginya; dan tentu saja tidak bisa melupakan disiplin sosiolinguistik untuk mengetahui bagaimana penggunaan bahasa dalam interaksi sosial.
 
Kaka SLANK mengenakan pakaian adat Belu - NTT
  1. RUANG LINGKUP DAN OBYEK PENELITIAN ETNOGRAFI KOMUNIKASI
Menurut Hymes  (Syukur dalam Kuswarno,2008:14), ada enam lingkup kajian etnografi komunikasi yaitu :
  1. Pola dan fungsi komunikasi ( patterns and functions of communication)
  2. Hakikat dan definisi masyarakat tutur ( nature and definition of speech community).
  3. Cara-cara berkomunikasi ( means of communicating).
  4. Komponen-komponen kompetensi komunikasi (component of communicative competence)
  5. Hubungan bahasa dengan pandangan dunia dan organisasi sosial ( relationship of language to world view and sosial organization)
  6. Semesta dan ketidaksamaan linguistic dan sosial (linguistic and sosial universals and inqualities )
 Ada beberapa istilah-istilah yang akan menjadi kekhasan dalam penelitian etnografi komunikasi, dan istilah ini nantinya akan menjadi ‘obyek penelitian’ etnografi komunikasi:
  1. Masyarakat tutur (speech community). Hymes memberi batasan mengenai masyarakat tutur adalah suatu kategori masyarakat di mana anggota-anggotanya tidak saja sama-sama memilliki kaidah untuk berbicara, tetapi juga satu variasi linguistik tertentu.  Sementara menurut Seville –Troike, yang dimaksud masyarakat tutur tidak harus memiliki satu bahasa, tetapi memiliki kaidah yang sama dalam berbicara ( Syukur, dalam Kuswarno, 2008:39,40). Jadi batasan utama yang membedakan masyarakat tutur satu dengan yang lain adalah kaidah-kaidah untuk berbicara. Sehingga suatu suku bangsa atau kebudayaan bisa saja memiliki dua atau lebih masyarakat tutur.
  2. Aktivitas komunikasi. Setelah menemukan atau mengidentifikasi masyarakat tutur, maka tahap selanjutnya bagi etnografer adalah menemukan aktivitas komunikasi-nya atau mengidentifikasi peristiwa komunikasi atau proses komunikasi. Menurut Hymes, tindak tutur atau tindak komunikasi mendapatkan statusnya dari konteks sosial, bentuk gramatika  dan intonasinya. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis aktivitas komunikasi dalam etnografi komunikasi, maka kita memerlukan pemahaman mengenai unit-unit diskrit aktivitas komunikasi. Hymes mengemukakan unit diskrit komunikasi itu adalah (Syukur dalam Kuswarno, 2008:41):
-      Situasi komunikatif dan konteks terjadinya komunikasi
-  Peristiwa komunikatif atau keseluruhan perangkat komponen yang utuh yang meliputi tujuan umum komunikasi, topic umum yang sama, partisipan yang secara umum menggunakan varietas bahasa yang sama, dengan kaidah-kaidah yang saya dalamberinteraksi dan dalam setting yang sama.
-    Tindak komunikatif, yaitu fungsi interaksi tungga seperti pernyataan, permohonan, perintah ataupun perilaku non verbal.
Pendeknya, yang dimaksud aktivitas komunikasi dalam etnografi komunikasi tidak lagi bergantung/bertumpu pada pesan, komunikator, komunikan, media, dan efeknya melainkan aktivitas khas yang kompleks di mana di dalamnya terdapat peristiwa-peristiwa khas komunikasi yang melibatkan tindak-tindak komunikasi khusus dan berulang.

  1. Komponen Komunikasi.  Komponen komunikasi merupakan bagian yang paling penting dalam kajian etnografi komunikasi. Yang dimaksud komponen komunikasi dalam etnografi komunikasi adalah (Syukur dalam Kuswarno, 2008: 42,43):
-          Genre atau tipe peristiwa komunikasi ( misal lelucon, salam, perkenalan, dongen, gossip dll)
-          Topik peristiwa komunikasi.
-          Tujuan dan fungsi peristiwa secara umum dan juga fungsi dan tujuan partisipan secara individual.
-          Setting termasuk lokasi, waktu, musim dan aspek fisik situasi yang lain
-          Partisipan, termasuk usianya, jenis kelamin, etnik, status sosial, atau kategori lain yang relevam dan hubungannya satu sama lain.
-          Bentuk pesan, termasuk  saluran verbal, non verbal dan hakikat kode yang digunakan, misalnya bahasa mana dan varietas mana.
-          Isi pesan, mencakup apa yang dikomunikasikan termasuk level konotatif dan referensi denotative.
-          Urutan tindakan, atau urutan tindak komunikatif atau tindak tutur termasuk alih giliran atau fenomena percakapan.
-          Kaidah interaksi.
-          Norma-norma interpretasi, termasuk pengetahuan umum, kebiasaan, kebudayaan, nilai dan norma yang dianut, tabu-tabu yang harus dihindari, dan sebagainya.

  1. Kompetensi Komunikasi.  Tindak komunikasi individu sebagai bagian dari suatu masyarakat tutur dalam perspektif etnografi komunikasi lahir dari integrasi tiga ketrampilan yaitu ketrampilan linguistik, ketrampilan interaksi dan ketrampilan kebudayaan. Kompetensi inilah yang akan sangat mempengaruhi penutur ketika mereka menggunakan atau menginterpretasikan bentuk-bentuk linguistik. Kompetensi komunikasi ini meliputi (Syukur dalam Kuswarno, 2008: 43,44):
-          Pengetahuan dan harapan tentang siapa yang bisa atau tidak bisa berbicara dalam setting tertentu?
-          Kapan mengatakannya?
-          Bilamana harus diam?
-          Siapa yang bisa diajak bicara?
-          Bagaimana berbicara kepada orang-orang tertentu yang peran dan status sosialnya berbeda?
-          Apa perilaku non verbal yang pantas?
-          Rutin yang bagaimana yang terjadi dalam alih giliran percakapan?
-          Bagaiamana menawarkan bantuan?
-          Bagaimana cara meminta informasi dan sebagainya?

  1. Varietas Bahasa.  Pemolaan komunikasi (communication patterning) akan lebih jelas bila diuraikan dalam konteks varietas bahasa. Hymes menjelaskan bahwa dalam setiap masyarakat terdapat varietas kode bahasa (language code) dan cara-cara berbicara yang bisa dipakai oleh anggota masyarakat atau sebagai repertoire komunikatif masyarakat tutur. Variasi ini akan mencakup semua varietas dialek atau tipe yang digunakan dalam populasi sosial tertentu, dan factor-faktor sosiokultural yang mengarahkan pada seleksi  dari salah satu variasi bahasa yang ada. Sehingga pilihan varietas yang dipakai akan menggambarkan huubungan yang dinamis antara komponen-komponen komunikatif dari suatu masyarakat tutur, atau yang dikenal sebagai pemolaan komunikasi (communication patterning).

  1. METODE PENGUMPULAN DATA DALAM ETNOGRAFI
Koentjaraningrat, sebagaimana dikutip Burhan Bungin (2005) menjelaskan bahwa teknik pengumpulan data dapat digolongkan menjadi 9 (sembilan) yaitu, teknik:
1.      Pengamatan;
2.      Pengamatan dengan menceburkan diri ke dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan suku bangsa yang menjadi obyek penelitian atau participant observer method;
3.      Wawancara merdeka (bebas, pen);
4.      Wawancara terpimpin;
5.      Pengedaran daftar pertannyaan atau questionnaire;
6.   Mencatat pembicaraan para informan atau orang-orang di dalam masyarakat secara tepat atau text recording;
7. Pencatatan biografi-biografi dari anggota-anggota masyarakat yang menjadi obyek penelitian atau life history approach;
8.      Mempergunakan test-test psikologi;
9.   Menghitung dan mencatat angka-angka statistik dari peristiwa dan akrivitas masyarakat dan kebudayaan atau statistical methods.
Namun dalam konteks penelitian kualitatif etnografi, teknik pengumpulan data lapangan sendiri dapat menggunakan salah satu atau lebih yang termasuk dalam metode etnografi, yaitu observasi partisipatif, in-depth interview, introspeksi, observasi tanpa partisipan, dan analisis dokumen.[8] 
Menurut Deddy Mulyana, seperti penelitian naturalistik, etnografi sebenarnya juga memanfaatkan beberapa teknik pengumpulan data, meskipun teknik utamanya adalah pengamatan berperan-serta (participant observation).[9]
Cirikhas penelitian lapangan etnografi adalah bersifat holistic, integrative, thick description, dan analisis kualitatif untuk mendapatkan native’s point of view. Sehingga teknik pengumpulan data yang utama adalah observasi-partisipasi dan wawancara terbuka serta mendalam, dalam jangka waktu yang relative lama dan akan sangat berbeda dalam penelitian survey.[10]
Etnografer (orang yang melakukan penelitian etnografi) akan berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun tinggal bersama masyarakat yang diteliti, sehingga metode penelitian etnografi sangat berguna untuk mempelajari bagaimana individu mengkategorikan pengalamannya. Kemudian akan pula dipahami konsep dan makna yang dimiliki oleh suatu masyarakat, sehingga memberikan pengertian yang mendalam mengenai pandangan hidup yang dimilikinya, termasuk kebudayaan yang dianutnya. Sehingga faktor utama yang penting dalam penelitian etnografi adalah soal waktu, maka sang etnografer perlu mempertimbangkan juga berapa lama waktu yang dibutuhkan, dari mulai persiapan sampai penulisan laporan.[11]
Bulan-bulan pertama akan dihabiskan etnografer untuk mempelajari bahasa penduduk asli. Utamanya untuk mengajari bagaimana etnografer berkomunikasi dengan penduduk asli. Dengan mempelajari bahasa asli, para etnografer menjadi paham bagaimana penduduk asli mengkategorikan pengalamannya, dan menggunakan kategori-kategori itu dalam pemikiran biasa. Sehingga mereka dengan mudah dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dipahami oleh penduduk asli dan sekaligus menemukan permasalahan-permasalahan yang ada di balik aktivitas sehari-hari.[12]
Terkait siapa yang harus menjadi informan atau responden dalam penelitian itu, Creswell menjelaskan akses pertama etnografer di lapangan adalah “gatekeeper”, yaitu seseorang yang merupakan anggota atau seseorang yang diakui sebagai bagian dari masyarakat yang diteliti. Keberadaan gatekeeper ini, tidak hanya membantu peneliti untuk menemukan informan lainnya, tapi juga menurut Karen O’Reilly dapat menjadi pintu gerbang utama untuk masuk ke dalam lingkungan masyarakat yang akan diteliti (gaining access).

  1. TEKNIK ANALISIS DATA DALAM ETNOGRAFI
Creswell memaparkan teknik analisis data dalam penelitian etnografi terdiri dari tiga tahapan yaitu:[13]
1.      Deskripsi.
Pada tahap ini etnografer mempresentasikan hasil penelitiannya dengan menggambarkan secara detil obyek penelitiannya itu. Gaya penyampaiannya kronologis seperti narator. Dengan membuat deskripsi, etnografer mengemukakan latar belakang dari masalah yang diteliti, dan tanpa disadari merupakan persiapan awal menjawab pertanyaan penelitian.
2.      Analisis.
Pada bagian ini, etnografer mengemukakan beberapa data akurat mengenai obyek penelitian, biasanya melalui table, grafik, diagram, model, yang menggambarkan obyek penelitian. Bentuk yang lain dari tahap ini adalah membandingkan obyek yang diteliti dengan obyek lain, mengevaluasi dan membangun hubungan antar obyek yang diteliti. Pada tahap ini etnografer dapat pula mengemukan kritik terhadap penelitian-penelitian sebelumnya.
3.      Interpretasi.
Interpretasi menjadi tahap akhir analisis data dalam penelitian etnografi. Pada tahap ini, etnografer mengambil kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan. Etnografer menggunakan kata orang pertama dalam penjelasannya untuk menegaskan bahwa apa yang ia kemukakan adalah murni hasil interpretasinya.


Kaka SLANK di padang Fulan Fehan, Belu - NTT

  1. PENULISAN LAPORAN HASIL PENELITIAN
Setiap selesai mengadakan penelitian biasanya peneliti membuat laporan hasil penelitian. Penulisan laporan ini berfungsi untuk memenuhi beberapa keperluan, seperti keperluan studi akademis, perkembangan ilmu pengetahuan, ada pula karena penelitian itu dilakukan untuk keperluan lembaga masyarakat, lembaga pemerintahan, atau lembaga bisnis tertentu. Terakhir, adapula laporan hasil penelitian dapat dimanfaatkan untuk keperluan publikasi ilmiah.[14]
Berikut adalah teknik menulis sebuah laporan etnografi yang dikemukakan oleh Karen O’Reilly yang dapat digunakan untuk laporan penelitian etnografi komunikasi:[15]
1.      Introduction.
Dalam bagian ini, etnografer menjelaskan apa yang menjadi tema dari penelitiannya. Selain itu penjelasan posisi tema penelitian dari sudut pandang keilmuan.
2.      Literature review.
Bagian ini berisi hal-hal yang berhubungan dengan obyek penelitian. Misalnya penelitian tentang kaum imigran di Spanyol, maka literature yang menunjang mencakup komunikasi antar budaya, kebudayaan inggris, kehidupan ekonomi eropa, kebijakan politik dua negara, dan sebagainya. Jadi semua pengetahuan yang kurang lebih akan menunjang analisis data.
3.      The setting and background.
Berisi tentang latar belakang penelitian, seperti sejarah tempat penelitian, kejadian-kejadian yang mempengaruhi tema penelitian, dan sebagainya. Penjelasan lokasi penelitian beserta gambaran umum masyarakat yang tinggal di dalamnya, juga dapat dilakukan pada bagian ini.
4.      The methodology and methods.
Bagian ini berisi deskripsi lengkap mengenai bagaimana etnografer dalam menemukan apa yang dicarinya, termasuk apa saja yang dilakukan selama di lapangan. Dengan kata lain metode pengumpulan data.
5.      Findings.
Berisi semua hal yang etnografer temukan di lapangan. Bentuknya dapat seperti story telling, atau digabung dengan analisis etnografer. Yang jelas akan detil atau thick description.
6.      The conclusion.
Dalam bagian ini, pembaca dibawa ke awal penelitian untuk melihat kembali apa yang menjadi tujuan penelitian dan isu-isu yang melatarbelakanginya. Setelah itu barulah dapat ditemukan hubungan dari tujuan penelitian dan hasil yang dicapai.

Urutan tahapan dalam penelitian etnografi di atas hanyalah merupakan pedoman saja. Seperti juga penelitian berparadigma kualitatif lainnya, kreativitas dan imajinasi peneliti sangat juga menentukan sehingga metode etnografi komunikasi ini akan terus berkembang dan bervariasi.********

Penulis: Yulius Haryanto Seran


DAFTAR PUSTAKA

Bungin, Burhan. (2003). Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis Ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Creswell, John W. (2015). Penelitian Kualitatif & Desain Riset: Memilih Di Antara Lima Pendekatan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kuswarno, Engkus. (2008). Etnografi komunikasi: Pengantar dan Contoh Penelitiannya. Bandung: Widya Padjadjaran.
Moleong, Lexy J. (1989). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya
Mudjianto, Bambang. (2009). Metode Etnografi dalam Penelitian Komunikasi. Jurnal KOMUNIKASI MASSA, Vol 5, No.1
Mulyana, Deddy. (2003). Metode Penelitian Kualitatif: Paradigma baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Zakiah, Kiki. (2008). Penelitian Etnografi Komunikasi. Jurnal Mediator, Vol 9, No.1, Juni 2008


[1] Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005, hlm. 168
[2] Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003, hlm. 161.
[3] John W. Creswell, Penelitian Kualitatif dan Desain Riset, Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2015, hlm 129 - 130
[4] Deddy Mulyana, Op.Cit., hlm. 161
[5] Bambang Mudjianto, Metode Etnografi dalam Penelitian Komunikasi, 2009, Jurnal KOMUNIKASI MASSA, Vol 5, No.1
[6] Ibid.
[7] Kiki Zakiah, Penelitian Etnografi Komunikasi, Jurnal Mediator, Vol 9, No.1, Juni 2008
[8] Engkus Kuswarno, Etnografi Komunikasi. Bandung: Widya Padjajaran, 2008, hlm. 48 - 59
[9] Deddy Mulyana, Op.Cit., hlm. 161.
[10] Ibid., Hlm,.33
[11] Ibid., hlm 33.
[12] Ibid., hlm 34.
[13] Engkus Kuswarno, Op.Cit., hlm. 68
[14] Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remadja karya, 1989, hlm. 238.
[15] Engkus Kuswarno, Op.Cit., hlm. 69

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tradisi Fenomenologis dalam Teori Komunikasi

TEORI INTERPRETIF